Teripang Jinakkan Serigala Liar /lupus
Bayangan kematian menyergap benak Rachma Dwiyanti ketika dokter mendiagnosis lupus. Perempuan 32 tahun itu gontai keluar dari ruang praktek. Tiba-tiba saja ia takut menghadapi kehidupan. Maklum, sebulan silam nyawa adiknya terenggut karena penyakit itu. Haruskah ia mengikuti jejak sang adik menuju ke haribaan-Nya?
Kengerian
itu berawal pada sebuah siang nan terik. Ketika berlibur di Yogyakarta,
alumnus Universitas Diponegoro itu menyempatkan diri ke Malioboro. Di
pusat keramaian itu tiba-tiba mata kaki terasa amat nyeri, seperti
dipukul palu. Tak kuasa menahan nyeri, ia pun menjerit sehingga puluhan
pasang mata tertuju padanya.
Semula
Rachma Dwiyanti mengira terkilir akibat kelelahan. Itu diperkuat
pernyataan ahli refleksi yang ditandangi beberapa saat setelah peristiwa
terjadi. Setelah dipijit satu jam, rasa nyeri lenyap. Namun, seminggu
berselang, ketika Rachma kembali ke Banjarmasin, rasa nyeri kembali
hinggap. Kali ini, rasa nyeri tak mempan diurut. Ia tak bisa
menggerakkan seluruh tubuhnya lantaran nyeri meluas. “Jika kambuh, jalan
menjadi susah,” kata Rachma. Wanita kelahiran 21 Januari 1974 itu
berbaring di tempat tidur lantaran tak berdaya melakukan aktivitas apa
pun.
Selain
nyeri di seluruh sendi, di tangan kerap muncul benjolan. Jika sudah
begitu, ia demam dan tangan tak mampu digerakkan. Menjelang malam
penghujung Mei 2005, nyeri hebat ia rasakan, sehingga berjalan pun
terseok-seok. Suaminya, Muhammad Frisyal Pattisahusiwa yang baru pulang
dari bekerja terkejut. Frisyal baru menyadari penyakit istrinya bukan
sekedar pegal linu yang mudah disembuhkan obat warung. Ia langsung
melarikan Rachma ke rumah sakit yang berjarak 40 km dari rumahnya.
4 dari 11
Diagnosis dokter menunjukkan penyakit yang diderita Rachma bukan sembarang rematik. Lantas ia dirujuk ke ahli rematologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Di sana ia menjalani serangkaian tes imunologi dan serologi. Hasilnya, ANA (antinuclear AB) pada darah ibu 2 anak itu positif kuat. Nilai C3 hanya 72 mg/dl jauh di bawah kisaran normal, 90-180 mg/dl. Artinya ia mengidap Sistemic Lupus Erythema (SLE) yang lebih dikenal dengan sebutan lupus. ANA merupakan parameter lupus.
Diagnosis dokter menunjukkan penyakit yang diderita Rachma bukan sembarang rematik. Lantas ia dirujuk ke ahli rematologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Di sana ia menjalani serangkaian tes imunologi dan serologi. Hasilnya, ANA (antinuclear AB) pada darah ibu 2 anak itu positif kuat. Nilai C3 hanya 72 mg/dl jauh di bawah kisaran normal, 90-180 mg/dl. Artinya ia mengidap Sistemic Lupus Erythema (SLE) yang lebih dikenal dengan sebutan lupus. ANA merupakan parameter lupus.
Jika
positif berarti ada aktivitas antibodi penyebab lupus. Sedangkan C3 dan
C4, bagian kelompok protein globulin darah penghambat terjadinya
peradangan dan infeksi. Jika nilainya di bawah kisaran, berarti mudah
terjadi reaksi radang penyebab linu. Setelah 6 bulan bergelut dengan
nyeri sendi, Rachma sadar penyakitnya sama dengan penyebab kematian sang
adik. Sebelumnya ia sempat curiga, tetapi dari berbagai informasi yang
ditelusuri sangat jarang saudara sekandung mengidap lupus. Namun, ia
merasa beruntung penyakit ini terdeteksi lebih awal dibandingkan
adiknya.
Sekitar 12
tahun dokter memvonis Dina -begitu adiknya dipanggil- hanya nyeri
rematik. Saat Dina merasa kesakitan ketika disentuh, anggota keluarga
lain mengira ia bercanda. Lima bulan menjelang ajal barulah ketahuan ia
mengidap penyakit kelebihan imun.
Kelebihan
imun akibat tubuh memberi reaksi berlebih terhadap rangsangan benda
asing. Kemudian tubuh memproduksi terlalu banyak antibodi atau semacam
protein yang malah ditunjukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri.
Sebab antibodi yang diproduksi berupa antinuclear AB (ANA) dan Anti
double stranded DNA (Anti ds DNA) yang justru merusak tubuh.
“Gejalanya
biasa-biasa saja, sehingga banyak dokter yang tidak mengetahui itu
adalah gejala lupus. Banyak penderita lupus yang meninggal karena tidak
terdeteksi secara benar”, ujar dr. Toga Iwanoff Kasjmir SpPD-KR, ahli
rematologi RSCM. Gejala penyakit ini hanya berupa demam, nyeri sendi,
lemah atau lesu, dan rendahnya trombosit.
Agar tidak
terjadi kesalahan diagnosis, ahli-ahli medis menggunakan daftar 11
kriteria ARA (American Rheumatism Association) untuk mendiagnosis lupus.
Di antaranya ruam diskoid atau bercak putih di wajah, ruam malar
kupu-kupu, radang selaput paru-paru atau jantung, dan kelainan ginjal–
protein dalam air kencing melebihi 500 mg/24 jam.
Indikasi
lain, radang sendi non-erosif pada 2 sendi atau lebih, kelainan darah
seperti anemia, leukopenia, trombositopenia, fotosensitivitas (sensitif
terhadap sinar matahari), dan kelainan sistem saraf kejang atau kelainan
jiwa.
Sariawan
di rongga mulut dan tenggorokan, kelaian immunologi (anti ds DNA
positif, anti antibodi positif atau sel LE positif), anti-antibodi
positif atau sel LE positif), dan kadar antibodi -antinuklir (ANA)
abnormal) juga menjadi pertanda serangan lupus. Jika terdapat 4 gejala
dari 11 parameter di atas, maka seseorang didiagnosis mengidap lupus.
“Sayangnya,
gejala itu muncul dalam waktu panjang”, kata dokter alumnus Universitas
Indonesia itu, dari satu gejala ke gejala lain kerap berselang satu
tahun.
Wajah Rembulan
Untuk mengatasi lupus, Rachma menenggak obat-obat mengandung steroid dan metrotreksit untuk kanker. Obat itu dikonsumsi agar serangan lupus tidak meluas ke organ tubuh lain. Namun, mengasup bahan kimia itu justru menambah penderitaan.
Untuk mengatasi lupus, Rachma menenggak obat-obat mengandung steroid dan metrotreksit untuk kanker. Obat itu dikonsumsi agar serangan lupus tidak meluas ke organ tubuh lain. Namun, mengasup bahan kimia itu justru menambah penderitaan.
“Tiga gigi
saya patah dalam satu tahun”, kata Rachma. Steroid memang bahan kimia
pengeropos kalsium tulang dan gigi. selain itu, wajahnya membulat
-dikenal dengan istilah moonface (wajah rembulan)-, kulit kering, rambut
rontok, tulang punggung linu setiap saat, asam urat meningkat, dan
lambung perih. Walau begitu, Rachma tetap mengkonsumsinya. Sebab,
obat-obatan lupus memang hanya steroid.
Awal Maret
2006, Rachma membaca artikel Trubus tentang tripang (sea cucumber)
mengendalikan lupus sendi. Lantaran ingin mempercepat kesembuhan, Rachma
langsung mencobanya. Setelah seminggu mengkonsumsi, penderitaannya
berkurang. Linu hilang, rambut menjadi tebal, kulit kembali kenyal dan
halus. Sebelumnya, efek steroid membuat kulit Rachma kusam dan kering.
Kabar
gembira itu juga dibuktikan melalui tes laboratorium setelah satu bulan
konsumsi gamat (tripang). Hasilnya, niai ANA negatif, C3 sebagai
aktivitas protein antibodi berkisar normal dengan angka 98 mg/dl, C4
meningkat ke angka 20 mg/dl, dan Laju Endap Darah 19 mm/jam. Ginjalnya
diperiksa untuk mengetahui efek samping konsumsi gamat. Nilai uretum 15
mg/dl, tetap pada ambang batas 13-43 mg/dl dan kreatinin 0,6 mg/dl, pada
kisaran normal 0,5-0,9 mg/dl.
“Dokter
bilang, lupus saya lebih terkendali,” kata Rachma. Kesehatan itu dapat
bertahan asal ia menghindari matahari langsung pada pukul 10.00-15.00,
istirahat cukup dan mengasup makanan bergizi.
Menurut Howard Benedikt, MS, DC ahli nutrisi dari Long Island University, Amerika Serikat, menyebutkan vitamin E, omega-3 EPA, dan kelompok antioksidan gamat berpengaruh dalam pembuangan sitokinin. Hasil temuan Dr. Mittchell Kurk direktur medis Biomedical Revitalization Center of Laurence, New York, menunjukkan gamat meningkatkan kesehatan fisik bagi 70% pengidap radang atau linu sendi, tanpa efek samping. Sebab gamat memiliki komponen kondroprotektif yang memperbaiki tulang muda dengan merangsang metabolisme anaboliskondrosit serta menghambat reaksi katabolisme saat peradangan.
Sumber: Trubus Edisi: 441 – Agustus 2006/XXXVII, hlm. 122